Jumat, 27 Juli 2012
Dedikasi Tak berujung di Dusun Topesino
Desiran
angin kencang disertai hembusan udara dingin yang tidak lazim bagi
masyarakat kota Palu tak mengurangi semangat Ibu Indrawati untuk
“mengalahkan” tingginya gugusan pegunungan Gawalise yang tepatnya
berada di desa Mantikole dusun Topesino Kabupaten Sigi, Provinsi
Sulawesi Tengah. Jalan setapak yang sesekali tak berwujud terbentang
dari lembah hingga ke puncak gunung. Suasana hutan hijau dan rindang
namun sunyi sanggup menggetarkan jantung hingga 9 skala ritcher jika
dilalui seorang diri. Semangat berbagi mampu menggerakkan kaki Ibu
Indrawati untuk melalui jalur yang tidak bersahabat itu selama lebih
kurang 6 tahun. Menunggu di puncak gunung generasi-generasi baru yang
merintis masa depan di sebuah sekolah yang bernama Sekolah Daun.
Rute menuju sekolah daun |
Yah, Sekolah Daun. Nama ini dipakai karena pada mula berdirinya yaitu sekitar tahun 2007, bangunan fisik sekolah ini hanya terdiri dari daun-daun yang dikumpulkan dari lahan sekitar. Susunan ilalang dibuat sebagai dinding, semantara anyaman daun kelapa dijadikan atap bangunan yang lebih mirip sebuah “kandang” daripada tempat menuntut ilmu. Pribahasa mengatakan, yang nampak dari luar adalah cerminan apa yang ada di dalamnya. Ungkapan tersebut sangat berkenan dengan sekolah daun pada masa itu. Sarana dan prasarana belajar mengajar sangat memprihatinkan. Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa siapapun yang melihatnya akan miris dengan kondisi mereka. Mereka anak-anak dusun sebagai anak bangsa seharusnya memiliki hak yang sama dalam pendidikan.
Penampakan ruang belajar periode awal berdirinya sekolah daun |
Ibu Indrawati beserta murid di depan sekolah daun |
Sedikit
flashback, awalnya sekolah ini didirikan berdasarkan rasa iba kepala
Desa dan Ibu Indrawati terhadap anak-anak dusun Topesino yang tidak
mengecap bangku sekolah. Anak-anak dusun kerap menghabiskan waktu di
kebun dengan sesekali turun gunung untuk membawa hasil panen kebun
mereka ke pasar. Suatu hari disaat anak-anak dusun turun gunung
menemani orang tua mereka ke pasar, bertemulah mereka dengan Ibu
Indrawati yang oleh Tuhan dikaruniai rasa simpati dan empati yang
lebih dibanding orang kebanyakan. Dengan sedikit obrolan santai
dengan anak-anak dan orang tua mereka, Ibu Indrawati tergerak untuk
membantu mendirikan sekolah dan sekaligus menjadi tenaga pengajar di
dusun tersebut. Atas bantuan berbagai pihak, termasuk kepala Desa,
berdirilah sebuah gubuk sekolah yang mereka namai bersama sebagai
sekolah daun.
Ibu
Indrawati sendiri bukanlah siapa-siapa. Beliau lulusan D2 Universitas
Muhammdiyah Palu jurusan PGSD. Sebelum mengabdikan diri di sekolah
daun, wanita 38 tahun ini sehari-hari bekerja sebagai guru bantu di
beberapa sekolah dasar. Pernah pula Ibu Indrawati ini mencoba mengadu
nasib sebagai TKW di Quwait selama 3 tahun. Hingga akhirnya beliau
memutuskan untuk mengabdikan sisa hidupnya di sekolah daun yang
merupakan sekolah rintisan beliau dengan anak-anak dusun Topesino.
Saat
ini terdapat 4 orang guru yang mengajar di sekolah yang memiliki 60 orang murid ini. Keempat guru itu adalah Indrawati Sambow, Arjun, Nardus dan Muhammad Rizal. Jadwal mengajar keempat guru tersebut dibuat "shift" per minggu. Setiap guru yang mendapat giliran mengajar harus "stay" di sekolah daun selama satu minggu. Seminggu kemudian guru lain datang mengganti posisi guru yang Off. Hal ini dilakukan karena selain pertimbangan jarak sekolah daun dari lembah gunung cukup jauh yaitu sekitar 10 km dengan waktu tempuh 4-5 jam dengan berjalan kaki, juga agar para guru sekolah daun masih memiliki waktu luang untuk berkumpul bersama keluarga mereka.
Rute terjal menuju sekolah daun |
Setiap minggu, Ibu Indrawati harus mendaki ke “awan” untuk mencapai sekolah daun. Rute yang tidak lazim dilalui oleh seorang Ibu seperti Ibu Indrawati. Sesekali Ibu Indrawati mengajak suami atau mencari teman untuk “menjinakkan” jalur yang lebih cocok sebagai rute mount climbing. Tidak jarang pula beliau menyusuri gugusan gunung tersebut seorang diri. Jalan untuk menempuh dusun berpenghuni 52 kepala keluarga itu memiliki medan terjal dengan kemiringan 30-45 derajat sehingga jarak yang "hanya" 10 km bisa ditempuh 4 sampai 5 jam.
Sebagai
seorang guru sekolah dasar, Ibu Indrawati tentunya harus bisa
mengusai beberapa mata pelajaran, baik Matematika, IPA, IPS, Bahasa
Indonesia, bahkan kesenian. Beliau pun dituntut untuk sabar
menghadapi anak-anak dusun yang kebanyakan diantara mereka belum baik
dalam berbahasa Indonesia. Hal ini karena dalam kehidupan
sehari-hari, anak-anak dusun menggunakan bahasa daerah kaili dalam
berkomunikasi dengan teman dan keluarga mereka.
Saat saya bersilaturahmi ke kediaman Ibu Indrawati di daerah Marawola Palu, saya dibuat terkagum-kagum serta sesekali menghela nafas panjang. Sekitar 30 menit saya mencoba menggali informasi mengenai sekolah daun dan motivasi Ibu Indrawati untuk bertahan di sekolah daun dengan status yang ternyata sebagai guru bantu alias honorer, bukan sebagai guru PNS. “Saya hanya menjalankan apa yang ada di hati kecil saya, hanya Tuhan yang tahu, Tuhan yang balas semuanya, karena kita Mati tidak bakal membawa apapun selain amal kita selama hidup”, demikian beliau mengutarakan isi hatinya. Perkataan-perkataan inilah yang membuat saya terhenyak, menghujam hingga ke relung hati, menegakkan bulu di sekujur tubuh saya sembari merenungi apa saja bekal yang telah saya siapkan untuk menghadap Tuhan. Saat Ibu Indrawati mengatakan bahwa status beliau sebagai guru honorer, rasa kagum saya semakin membuncah. “Mana ada orang yang mau mengajar di daerah yang sangat amat terpencil, di komunitas suku pedalaman tanpa ada fasilitas yang memadai seperti Ibu Indrawati bahkan dengan status sebagai guru honorer”, gumamku dalam hati.
Dengan
semangat tinggi dan pantang menyerah, Ibu Indrawati membangun sekolah
daun dari yang semula gubuk reok menjadi semi permanen. Beliau kesana
kemari mencari sumbangan di berbagai instansi pemerintahan, hingga ke
kantor DPR kota dan kantor Bupati Sigi, Palu. Perjuangan beliau tidak
sia-sia, karena berkat kerja kerasnya, sekolah daun berubah status
menjadi sekolah negeri. Namun menurut Ibu Indrawati, sekolah ini
masih sangat minim fasilitas, sehingga kegiatan belajar mengajar pun
sangat terbatas.
Disaat
kaum urban berlomba-lomba mencari pekerjaan di instansi pemerintahan
yang bergensi ataupun di perusahaan-perusahaan besar, Ibu Indrawati
malah memilih “menyusahkan” dirinya sendiri dengan naik turun
gunung menuju sekolah daun. Disaat kaum urban sibuk mengurus diri dan
keluarga sendiri, Ibu Indrawati malah sibuk mengurus nasib anak-anak
dusun yang sangat tertinggal disegala sisi kehidupan. Dan disaat
sifat berbagi mulai tenggalam dari hati para kaum urban, Ibu
Indrawati malah sibuk memperkaya anak-anak dusun dengan ilmu yang
bermanfaat.
Dengan keikhlasan yang terus bersemayam di hati, Ibu Indrawati mampu bertahan mengajar di sekolah daun, meski untuk mencapai sekolah ini harus mengarungi lautan hutan belantara yang rawan bagi keselamatan hidupnya. Ganjaran yang telah beliau dapat dari segala upayanya memajukan sekolah daun yaitu beliau terpilih sebagai wanita inspiratif versi majalah kartini pada tahun 2011. Namun sekali lagi beliau mengatakan bahwa bukan ini tujuan utamanya bekerja keras selama ini, bukan untuk mendapatkan puja puji manusia, melainkan ikhlas membantu sesama makhluk Tuhan, mengharapkan pujian dari Tuhan, mengharapkan Tuhan melindungi beliau beserta keluarga besarnya dan yang terpenting adalah agar kelak ketika beliau dipanggil oleh Tuhan, nama beliau tetap hidup dihati orang banyak, terutama mereka warga dusun Topesino.
Dengan keikhlasan yang terus bersemayam di hati, Ibu Indrawati mampu bertahan mengajar di sekolah daun, meski untuk mencapai sekolah ini harus mengarungi lautan hutan belantara yang rawan bagi keselamatan hidupnya. Ganjaran yang telah beliau dapat dari segala upayanya memajukan sekolah daun yaitu beliau terpilih sebagai wanita inspiratif versi majalah kartini pada tahun 2011. Namun sekali lagi beliau mengatakan bahwa bukan ini tujuan utamanya bekerja keras selama ini, bukan untuk mendapatkan puja puji manusia, melainkan ikhlas membantu sesama makhluk Tuhan, mengharapkan pujian dari Tuhan, mengharapkan Tuhan melindungi beliau beserta keluarga besarnya dan yang terpenting adalah agar kelak ketika beliau dipanggil oleh Tuhan, nama beliau tetap hidup dihati orang banyak, terutama mereka warga dusun Topesino.
Sebelum
saya menutup tulisan ini, saya teringat sebuah lagu yang mungkin
terakhir kali saya nyanyikan saat duduk di bangku SMP. Lagu ini
sangat berkenaan dengan semangat pengabdian Ibu Indrawati di sekolah
daun yang tulus ikhlas menghadapi segala tantangan.
Terpujilah
wahai engkau
Ibu Bapak guru
Namamu akan selalu hidup
dalam sanubariku
Ibu Bapak guru
Namamu akan selalu hidup
dalam sanubariku
Semua
baktimu
akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti
terima kasihku tuk pengabdianmu
akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti
terima kasihku tuk pengabdianmu
Engkau
sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa…
tanpa tanda jasa
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa…
tanpa tanda jasa
Video Sekolah Daun (Sumber: Youtube, klik disini)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
selamat ya udah menang .. ^^
BalasHapusTolong peran dari pemerintah daerah setempat terkait pendidikan di sana ,,,,,, kalau mmg tdak ada yg berkenan mengajar di sana ,,,,, saya siap membantu !!!!!
BalasHapusAssalamualaikum Apa Kabar Pak Eryk lama tidak posting lagi di blog
BalasHapus